Breaking News

Program PTSL Desa Ngerong Kec Gempol Diduga Tabrak SKB 3 menteri biaya 600 RB perkaya kantong sendiri

Pasuruan, Busercyber.com

Kota Pasuruan di Jawa Timur memiliki julukan Kota Santri dan Kota Pelabuhan Kuno. 

Kota Pasuruan merupakan salah satu kota yang menyimpan banyak kenangan bersejarah sejak zaman kolonial. Kota yang juga dikenal sebagai sebutan Kota Santri ini didirikan pada 8 Februari 1686.

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang seharusnya membantu masyarakat dalam pengurusan sertifikat tanah, justru menjadi beban di Desa Ngerong, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Warga mengaku dipungut biaya sebesar Rp 600.000 per bidang tanah, jauh melampaui ketentuan SKB 3 Menteri yang membatasi pungutan maksimal Rp 150.000 untuk wilayah Jawa dan Bali.

Menurut informasi yang dihimpun tim investigasi dari berbagai media nasional dan lokal, pungutan ini diklaim mencakup biaya untuk patok, materai, operasional, hingga pembayaran untuk pendampingan oleh RT. Ironisnya, Kepala Desa berinisial Jmy saat dikonfirmasi justru berdalih bahwa biaya itu sudah sesuai dengan peraturan di Kabupaten Pasuruan dan semua yang mengurus Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas).

Program PTSL yang seharusnya mencakup 3000 bidang tanah di desa tersebut juga diduga mengalami pengurangan drastis, menjadi hanya 1000 bidang. Pengurangan kuota ini disebut-sebut sebagai keputusan dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasuruan. Namun, pengurangan tersebut menimbulkan keresahan karena mayoritas warga telah melunasi biaya Rp 600.000 dan mempertanyakan kejelasan proses serta pengembalian dana atas bidang yang tidak masuk dalam kuota realisasi.

“Sudah bayar, tapi katanya nggak masuk kuota. Lalu uang kami ke mana?” keluh salah satu warga yang enggan disebut namanya.

Sementara itu, Kepala Desa Jmy kembali berdalih bahwa dirinya hanya mengamati dan tidak tahu-menahu soal penarikan dana tersebut. Bahkan, saat dikonfirmasi lebih lanjut terkait apakah sisa dana dari pungutan Rp 600 ribu telah dikembalikan oleh Pokmas kepada warga, ia menjawab belum mengetahui dan meminta wartawan menanyakan langsung ke Pokmas.

Kondisi ini memicu gelombang protes dari warga yang merasa hak mereka diabaikan. Meski sempat mereda karena penjelasan Pokmas, gejolak kembali mencuat setelah muncul kabar pengurangan kuota tanpa kejelasan mengenai pengembalian dana.

Hingga berita ini diturunkan, Kepala Desa dan Pokmas belum memberikan penjelasan resmi terkait transparansi penggunaan dana maupun pengembalian sisa anggaran yang diduga masih tersisa dari pungutan Rp 600 ribu per bidang tersebut.

(Kabiro)

Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close